Rabu, 22 Juni 2016

Sepuluh

Aku hanya berdiri disampingmu. Mengikuti kemana kamu melangkah. Aku tidak berkata apapun, hanya membantumu menyiapkan semuanya. Aku tau, apapun yang aku katakan tidak akan mengubah keputusanmu. Sebisa mungkin aku menyembunyikan kekhawatiran itu dan kamu selalu berusaha tidak membuatku khawatir. Kamu masih menunggunya tapi dia tetap tidak mau denganmu. Entah apa yang salah, bagiku kamu sudah sangat baik padanya. Akhirnya kamu berjalan keluar dengan sedikit rasa kecewa.
Aku tetap mengikutimu, kali ini sambil memegang lenganmu. Karena sudah tidak tahan lagi, aku memberanikan diri untuk bicara “disini saja, ini terlalu panas. Dia akan mengerti. Kamu tidak perlu memaksa seperti ini, nanti akan membahayakanmu jika panasnya terus seperti ini. Tempat itu sekarang tampak jauh” terus saja aku meyakinkamu.  Kamu membuat senyum tipis sambil melepaskan tanganku dari lenganmu “kali ini saja, Jumat depan aku akan melakukannya dirumah. Tempat itu masih tampak dekat menurutku. Aku masih kuat”
Aku menghela napas panjang “Baiklah, tapi akan aku antar sampai ujung jalan.”
“Tidak perlu, nanti aku yang malah khawatir saat kamu pulang sendirian setelah mengantarku. Antar aku sampai sini saja dan masuklah saat aku sudah menghilang dibelokan.”
Aku hanya mengangguk dan kemudian mencium tanganmu “hati-hati, pelan-pelan saja jalannya.”
Kamu tersenyum lagi. Kamu mulai berjalan menjauhiku. Kain motif kotak-kotak dengan warna hitam putih itu kamu kenakan di atas kepalamu untuk mengelak dari panasnya matahari tapi menurutku itu tidak memberikan efek apapun. Aku masih menatapmu dari sini. Kamu berjalan pelan sekali, sangat pelan. Aku tau bagaimana sakitnya itu tapi aku hanya bisa menatapmu dari sini sampai akhirnya kamu sudah hilang di belokan.
***
“Mananya yang sakit?” tanyaku. Kamu memberikan telapak tanganmu “telapak tanganku gemetar.” Aku berusaha tenang sambil memegang tanganmu erat, memijatnya perlahan dan tangan itu mulai diam. “Kamu lapar? Mau aku buatkan sesuatu?” aku masih terus membujukmu untuk makan. Aku tau, kamu mulai membenci semua makanan karena sulit ditelan tapi bagaimanapun juga kamu harus tetap makan. “Adakah jagung rebus?” aku menatapmu selama beberapa detik. Aku hanya terlalu senang mendengar jawabanmu. Biasanya kamu selalu mengatakan tidak lapar tapi hari itu kamu menanyakan jagung rebus. Entah bagaimana itu bisa terjadi, hari itu kamu menghabiskan tiga jagung rebus sekaligus. Aku yakin kamu bisa melewati masa sulit ini.
***
Empat hari kemudian kamu pergi. Aku tidak mau ditinggal sendiri, seharusnya aku memaksa ikut. Kamu hanya tersenyum semampumu, aku tau tenagamu mulai habis. Kamu sudah tidak sekuat dulu yang kuat berjalan berkilo meter denganku hanya untuk melihat sungai. Aku mengingatnya, semuanya. Bagaimana mungkin aku melupakan semua memori indah itu. Kamu adalah salah satu hal terbaik dalam hidup. Kamu pergi, semakin jauh dan aku tetap diam disini. Semua ini memang yang terbaik buatmu dan aku akan selalu mendoakanmu dari sini.
***
“Bagaimana keadaannya?” aku selalu rajin menghubungimu sejak kamu pergi. “Entahlah. Aku tidak bisa menjelaskannya. Dia selalu berusaha tampak sehat tapi sepertinya pagi ini dia sangat bersemangat. Sekarang dia sedang menggosok giginya dan mencuci muka. Meskipun sakit, dia tetap menjaga kebersihan.”
“Hm, jangan menangis di depannya. Kamu adalah semangatnya. Tetaplah menjadi kuat, sebentar lagi dia pasti bisa melewatinya. Lusa aku akan menyusulmu. Aku benar-benar merindukannya.”
“Baiklah. Akan aku tunggu. Selesaikan urusanmu dulu saja.”
“Oke, nanti akan ku hubungi lagi. Titip salam rinduku untuknya.”
“Pasti.”
***
Aku menyukai bulan Juni, karenamu. Aku tidak tau bagaimana itu terjadi, seharusnya aku membencinya. Juni terlalu jahat. Dia memisahkan kita dengan jarak yang tak terhingga, jarak yang tidak bisa aku tempuh dalam hitungan hari maupun tahun. Langit yang kita tatap tidak lagi sama. Kamu juga jahat, meninggalkanku dengan semua kenangan menyakitkan ini. Bahkan kamu tidak mengucapkan selamat tinggal. Aku sudah mengatakan bahwa lusa akan menemuimu tapi kamu bahkan tidak mau berjuang untukku. Jumat kemarin menjadi yang terakhir. Tidak ada lagi jumat-jumat selanjutnya yang selalu aku luangkan untukmu. Dua jam setelah percakapan itu, kamu sudah memutuskan pergi. Apakah semudah itu meninggalkanku? Tidak adakah yang harus kamu ucapkan sebelum pergi? Apa kami semua terlihat begitu kuat sampai kamu begitu mudahnya pergi? Hei, ini hanya pura-pura. Kamu seharusnya tau kita semua berjuang buat kamu dan kamu malah pergi dengan wajah sebahagia itu. Kamu senang sekarang meninggalkan kami dengan semua luka yang tidak akan bisa sembuh? 
Mungkin aku terlalu egois. Membiarkanmu menanggung semuanya sendiri. Aku tau kamu sudah sangat berjuang. Aku tau kamu melewati banyak masa sulit. Kamu merasakan semuanya sendiri, mungkin karena itu kamu memilih pergi. Sekarang sudah tidak sakit bukan? Berjanjilan kamu akan bahagia disana, tersenyumlah sebanyak yang kamu mau. Kamu tau kan aku kuat? Aku juga akan mencoba tersenyum selama kamu menepati janjimu. Aku menyukai bulan Juni, karena disana selalu ada kamu. Ah iya, aku akan menunggu di ujung jalan. Asala kamu tau, ini sudah yang kesepuluh dan kamu masih tidak menemuiku di ujung jalan. Kamu memang satu-satunya orang yang bisa membuatku menunggu selama ini. Sampai bertemu disana.

Rabu, 01 Juni 2016

Mengikhlaskan

       Ikhlas hmm. Tiba-tiba pengen aja nulis tentang ikhlas. Berawal dari nganterin Caca (udah aku sebut namanya di cerita sebelumnya. Cerita penuh perjuangan biasanya dilewatin sm Caca Pita haha) ke stasiun terus kita harus menerjang macetnya Malang yang parah banget. Kejadiannya 2 minggu lalu, hari Jumat jam 3 sore. Awalnya Caca mau pulang ke rumahnya naik kereta dan aku yang nganterin dia ke stasiun. Seperti biasa Malang emang padet tapi ternyata hari Jumat itu ada acara di sepanjang jalan Ijen sampai Balaikota, otomatis jalanan ditutup dan kita harus muter lewat pasar besar. Biasanya kalo ada acara di jalanan pasti ada yang share di grup BEM tapi kali ini bener-bener nggak ada pemberitahuan sebelumnya. Mana aku udah hampir 3 tahun kuliah juga nggak hafal-hafal jalanan kota Malang. Singkat cerita akhirnya kita muter lewat pasar besar dan motor bener-bener gak bisa jalan, ya berhenti padahal buat sampai stasiun tinggal satu belokan aja. Lama kan nungguin, masih ada setengah jam sebelum keretanya dateng. Jadi tuh selama macet, diatas kita ada rel kereta nah kereta Caca bakal melewati rel itu. Nggak kerasa ternyata udah hampir jam 4 dan tiba-tiba keretanya lewat masa di atas kita. Wahh langsung tuh Caca nangis dibelakang dan aku cuman bisa diem aja ngeliatin kereta yang melintas gitu aja dan akhirnyaa Caca beli tiket baru dan mengikhlaskan tiket yang pertama padahal sayang banget sebenernya tapi ya mau gimana lagi. Sebenernya masih ada lanjutan cerita ini yang nggak sanggup aku ceritain karena terlalu menyakitkan haha. Intinya kesabaran bener-bener diuji waktu itu. Nah yang ini cerita pertama, masih ada 2 cerita lagi.
        Seminggu kemudian, bertemu dengan hari Jumat lagi. Nggak tau kenapa selalu ketemu hari Jumat yang dilewati dengan penuh perjuangan dan kenangan tak terlupakan. Hari Jumat minggu lalu aku memutuskan pulang karena sepertinya pas minggu tenang aku nggak bakal bisa pulang karena hantaman projek yang bertubi-tubi. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang minggu lalu. Sebenernya kalo Jumat kuliahnya cuma pagi aja tapi ada presentasi projek pas sore. Udah bilang juga ke ibu kalo pulangnya sore dan dibolehin emang, udah seneng tuh kan jadi pulang. Semangat deh ngerjain tugas buat motivasi cepet pulang haha. Jam 3 sore itu seharusnya udah ke terminal dan ada Bona (salah satu temen perjuangan juga, sekumpulan sama Caca Pita, kapan-kapan aku post diblog ini tentang mereka yang sangat berpengaruh dalam hidupku saat di perantauan hehe) yang mau nganterin tapi karena tugasnya belum jadinya diundur jam 4. Dan tiba-tibaaaa, Malang hujan deres masa. Aku udah diem aja kan, sedih banget gagal pulang tapi aku tetep yakin hujannya bakal reda. Sekitar jam setengah 5, aku maju presentasi. Hujannya ditungguin kan sampe mau maghrib dan tambah derees trus Ibu juga bilang kalo dirumah deres juga dan pake angin segala. Wah pas itu pengen nangis aja rasanya, gimana coba kok gagal pulang padahal waktunya tinggal minggu ini aja. Tapi ya mau gimana lagi, ternyata hujannya nggak reda sampe tengah malem. Pas pulang ke kosan itu rasanya “yah kenapa aku liat ruangan ini, seharusnya liat ruang keluarga dirumah” tapi yasudahlah mau gimana lagi tapi akhirnya tetep pulang pas Sabtu paginya. Ada satu lagi cerita, baru aku alamin tadi pagi.
        Jadi kan minggu ini bener-bener semuanya pada sibuk ngerjain projek, biasalah udah mau akhir semester. Semalem itu ada pengumuman mendadak di grup yang bilang kalo hari ini itu yang semula jadwalnya buat UAS diganti sama presentasi projek akhir. Panik dong semua anak soalnya emang belum pada selesai. Terus langsung deh ngerjain itu malemnya, Muthia sama Vera (temen sekosan, seperjuangan) juga udah panik. Singkat cerita aku tidur pas malemnya karena udah nggak kuat banget melek, dan aku lanjutin pagi. Pas paginya kan masih ngantuk jadi aku udah buka laptop dan tugasnya tapi sambil nunggu tugasku kebuka aku tidur tuh 30menit. Tiba-tiba kebangun terus nyesel gitu udah bangun, mimpinya bahagia bangeeet. Jadi mimpinya itu aku ada di rumah yang gede gitu, ada Ayah sama Kakakku. Ceritanya aku mau ikut lomba atau apalah, aku gak begitu inget. Nah seharusnya ada dosen yang mau jemput aku tapi ditungguin nggak dateng-dateng. Terus Ayah mau hubungin dosennya kan, Ayah nelfon sambil duduk dilantai gitu. Pas Ayah duduk aku tidur kan di pahanya, dulu waktu kecil sering banget kayak gitu. Terus aku gandeng kan tangan Ayah, tangannya dingin banget tapi Ayah tambah putih terus masih sama kayak dulu tangannya. Pikirku karena Malang sekarang emang lagi dingin, mangkanya tangannya jadi dingin banget. Di mimpi itu aku bilang “Yah, kangen” terus Ayah nunduk sambil senyum dan aku nangis liatnya. Udah lama banget nggak liat Ayah senyum gitu dan tangannya itu berasa nyata banget pokoknya, nggak tau gimana bisa gitu. Terus aku kebangun, terus nangis beneran. Ahh aku nggak mau banguuuun. Ya gimana, seharusnya aku ngomong banyak sama Ayah. Ah pokoknya pagi tadi bener-bener mimpi yang nggak pengen aku akhiri. Aku nggak ikhlas cuma berhenti disitu aja dan itu cuma mimpi, seharusnya Ayah juga bilang kalo kangen aku tapi ya sudahlah pada kenyataannya itu cuma mimpi. Ini cerita yang terakhir. 
        Itu tadi cerita yang terjadi 3 minggu terakhir yang bener-bener membekas sekali. Hmm apa ya? Entah nyambung atau nggak sama ketiga cerita tadi. Aku hanya mau berbagi tentang pemikiranku. Ketika apa yang kamu rencanakan, yang kamu pengen dan yang kamu berharap banget bakalan terjadi dan ternyata itu semua malah kebalikannya, tetep yakin aja bahwa itu pasti yang terbaik.  Bisa jadi ada maksud baik dibalik semua itu. Seperti cerita gagal pulang. Bisa aja kalo Caca nggak ketinggalan kereta dia ketemu sama orang jahat di kereta. Bisa juga kalo aku tetep maksain pulang waktu hujan turun deres banget, aku harus nungguin macet berjam-jam dijalan karena ternyata waktu itu saking deresnya hujan akhirnya banjir dimana-mana. Kalo yang soal mimpi tadi itu mungkin Ayah mau ngingetin kalo aku harus bangun buat buat ngerjain tugas hehe. Boleh aja marah, sebel ketika apa yang kita harapkan ternyata malah terjadi sebaliknya tapi coba dipikir lagi, pasti ada sesuatu yang masih bisa disyukuri dari kejadian tadi yang nggak sesuai harapan. Skenario itu pasti yang terbaiik. Ikhlas itu memang bukan sesuatu yang mudah, susah banget menurut aku. Itu bukan hanya tentang kamu ngomong di mulut "aku ikhlas kok" tapi itu tentang bagaimana hatimu menerima dengan tulus atas semua yang sudah terjadi. Dengan ikhlas kamu bakal ngerasa bersyukur pernah ngalamin itu karena itu ngajarin kamu banyak hal. Semoga kita bisa selalu ikhlas yaa :")

Senin, 22 Februari 2016

Menikmati Jarak

 Iseng aja nulis, tadinya mau nulis judul metpen tapi belum ada tanda-tanda tangan ini akan mengetikkan sebuah judul hehe. Buat aku, buat kamu, dan buat siapapun yang sekarang sedang jauh dari rumah, percayalah perjuangan ini akan berakhir manis nantinya. Aku, memutuskan pergi dari rumah dan dipisahkan oleh puluhan kilometer jarak untuk memulai perjalanan hidup. Kuliah di tempat yang sebenarnya yah, kata temen-temen sih rumahku nggak terlalu jauh dibanding mereka. Memang jarak antara rumah dan kota perantauan cuma 3 jam itupun bisa lebih cepat lagi kalo sopir angkotnya nggak muter-muter Malang dulu, oh sudah abaikan. 
        Pergi dari rumah nggak semudah yang dibayangkan ternyata. Awalnya terlihat melegakan "Akhirnya aku bebaaas" awalnya doang sih. Tiba-tiba jadi keinget semester awal banget pas baru masuk kuliah. Waktu itu lagi minggu-minggu projek dan UAS tapi tiba-tiba pengen pulang nggak tau kenapa dan itu kebawa sampe sekarang tiap kali di kampus ada kegiatan yang terlalu padat -_-. Sampe akhirnya karena nggak keturutan pulang, panas tinggi banget. Ke kampus aja sampe pake kompresan instan, udah nggak tau malu banget pokoknya. Keliling gazebo sambil ada biru-biru yang nempel di dahi. Panas gak turun-turun bahkan kompresannya sampe ikutan mendidih, mau pulang masih ada UAS dan akhirnya dengan sisa tenaga yang ada (sebenernya udah gak ada tenaga) ngerjain projek dan ngerjain UAS seadanya. Giliran nilai keluar, nilainya juga apa adanya, sedih. Tapi ya mau gimana lagi, itu salah satu perjuangan pas lagi jauh dari rumah.
          Maklum lah ya, selama delapan belas tahun lahir belum pernah ninggalin rumah ke tempat yang jauh. Mentok paling cuma ke Mojokerto yang pergi sendirian, itupun kesana ke kakak satu-satunya jadi ya masih deket keluarga sih haha. Dulu pas mau daftar SNMPTN pengennya ambil Jogja, ambil ilmu gizi karena nilai raport gak dukung masuk kedokteran hmm tapi itu semua cuma sebatas angan. Ibu bener-bener nentang kalo kuliah di luar Jawa Timur. Pengen nekat aja sebenernya toh belum tentu juga ketrima tapi pada akhirnya gak tau gimana dulu itu, aku nurut aja kuliah yang deket-deket. Inget kata-kata ini "Ridho Allah itu ridho orang tua" jadi bismillah aja waktu itu daftar aja pokoknya sambil rada sebel sih kenapa nggak boleh jauh. Eh taunya bener, hasil dari nurut kata-kata Ibu akhirnya ketrima kuliah alhamdulillah. Ya itu singkat cerita aja, nginget masalalu.
        Waktu berjalan cepet banget, tau-tau sekarang udah mikir nikah aja, eh skripsi deng haha. Kuliah selama ini lalu menyadari banyak hal bahwa jauh dari orang tua itu beban banget. Bukan beban sih, apa ya, kayak semacam ada tanggung jawab yang nggak biasa gitu. Waktu sakit pas awal itu aku jadi tau kenapa dulu ditentang banget buat kuliah jauh. Gimana nggak ditentang klo sakit panas gitu udah minta pulang, lha kalo dulu jadi di Jogja dan sakit terus kan biayanya bisa sampe jutaan klo buat pulang. Uang siapa coba buat bolak-balik pulang. Oke, itu kesadaran pertama.
             Terus kalo udah libur panjang pas waktunya balik ke Malang langsung sakit pas nyampe kota perantauan. Alay emang ini badan tapi emang kenyataannya gitu. Beruntunglah kalian-kalian yang nggak sealay aku. Apa ya, rasanya kan berat banget pas ninggalin rumah. Kalian tau lah pasti gimana rasanya, kalo kalian pernah jauh dari rumah juga. Kepikiran gitu, tapi mau tinggal dirumah juga gimana, tanggung jawab dan perjuanganku di kota perantauan belum selesai. Gitu dulu sok-sokan mau kuliah jauh. Yailah, kuliah deket aja sering sakit, maap Buu. 
          Sebenernya jarak juga bikin ikatan batin Ibu dan anak semakin deket. Biasanya Ibu emang sering ngingetin sholat tapi cuma subuh aja soalnya susah bangun kadang, selebihnya ya sholat sendiri nggak usah diingetin. Waktu itu, aku masih inget banget. Jadi pas itu lagi ngerjain tugas yang deadlinenya emang mepet banget, sampe akhirnya sholat maghribnya telat. Terus tiba-tiba pas mau sholat Ibu nelfon trus nanya udah sholat apa belum, tumben banget nanya padahal biasanya nggak pernah nanyain sholat selain sholat subuh. Tau aja kalo anaknya telat sholat. Ibu emang the best banget lah. Terus juga kalo lagi jauh dari rumah, seneng banget dapet telfon dari rumah. Padahal yang diomongin kadang ya itu-itu aja, kadang malah nggak penting dan ada saatnya telfon itu hening, nggak ada yang ngomong, bingung soalnya mau ngomong apa tapi ya telfon itu nggak ditutup, dibiarin diem gitu aja. Pernah gak sih pas liburan di rumah yang dirasain bosen karena ya cuma gitu-gitu aja di rumah, rasanya pengen cepet-cepet balik tapi giliran balik nanti pengen pulang. Wajar emang ngerasa gitu dan emang aku nya juga kadang yang kurang bersyukur.
           Tapi rasa bosen itu langsung berubah jadi rasa nyesel pas waktunya balik. Kalo dirumah gak perlu bingung makan apa, pas balik kangen masakan rumah. Kalo di rumah selalu ada yang diajak ngobrol, di dalem kamar kos cuma main sama laptop. Seharusnya waktu di rumah bisa lebih lama, seharusnya waktu di rumah gak usah bosen, seharusnya makanan yang tadi harus aku habisin, ah sudahlah, Semua tinggal penyesalan.
          Dari semua itulah aku sadar bahwa jarak ini harusnya dinikmati bukan disesali. Dari jarak kamu bisa belajar bersabar, bersabar untuk bisa pulang. Dari jarak, aku dan kamu bisa belajar menerima, menerima semua keadaan di kota perantauan. Dari jarak, kita bisa belajar menghargai, menghargai sesingkat apapun sebuah pertemuan. Dari jarak, aku, kamu dan kita semua bisa belajar menabung rindu untuk orang-orang tersayang. Mengumpulkannya satu demi satu kepingan rindu setiap harinya, menyelipkannya dalam doa hingga suatu waktu nanti rindu itu akan berubah menjadi pertemuan, pertemuan yang sedang kita nantikan. Semoga jarakku dan jarakmu akan di dekatkan secepatnya, haha. Selamat menikmati jarak kalian..