Aku
hanya berdiri disampingmu. Mengikuti kemana kamu melangkah. Aku tidak berkata
apapun, hanya membantumu menyiapkan semuanya. Aku tau, apapun yang aku katakan
tidak akan mengubah keputusanmu. Sebisa mungkin aku menyembunyikan kekhawatiran
itu dan kamu selalu berusaha tidak membuatku khawatir. Kamu masih menunggunya
tapi dia tetap tidak mau denganmu. Entah apa yang salah, bagiku kamu sudah
sangat baik padanya. Akhirnya kamu berjalan keluar dengan sedikit rasa kecewa.
Aku
tetap mengikutimu, kali ini sambil memegang lenganmu. Karena sudah tidak tahan
lagi, aku memberanikan diri untuk bicara “disini saja, ini terlalu panas. Dia
akan mengerti. Kamu tidak perlu memaksa seperti ini, nanti akan membahayakanmu
jika panasnya terus seperti ini. Tempat itu sekarang tampak jauh” terus saja
aku meyakinkamu. Kamu membuat senyum
tipis sambil melepaskan tanganku dari lenganmu “kali ini saja, Jumat depan aku
akan melakukannya dirumah. Tempat itu masih tampak dekat menurutku. Aku masih
kuat”
Aku
menghela napas panjang “Baiklah, tapi akan aku antar sampai ujung jalan.”
“Tidak
perlu, nanti aku yang malah khawatir saat kamu pulang sendirian setelah
mengantarku. Antar aku sampai sini saja dan masuklah saat aku sudah menghilang
dibelokan.”
Aku
hanya mengangguk dan kemudian mencium tanganmu “hati-hati, pelan-pelan saja
jalannya.”
Kamu
tersenyum lagi. Kamu mulai berjalan menjauhiku. Kain motif kotak-kotak dengan
warna hitam putih itu kamu kenakan di atas kepalamu untuk mengelak dari
panasnya matahari tapi menurutku itu tidak memberikan efek apapun. Aku masih
menatapmu dari sini. Kamu berjalan pelan sekali, sangat pelan. Aku tau
bagaimana sakitnya itu tapi aku hanya bisa menatapmu dari sini sampai akhirnya
kamu sudah hilang di belokan.
***
“Mananya
yang sakit?” tanyaku. Kamu memberikan telapak tanganmu “telapak tanganku
gemetar.” Aku berusaha tenang sambil memegang tanganmu erat, memijatnya
perlahan dan tangan itu mulai diam. “Kamu lapar? Mau aku buatkan sesuatu?” aku
masih terus membujukmu untuk makan. Aku tau, kamu mulai membenci semua makanan
karena sulit ditelan tapi bagaimanapun juga kamu harus tetap makan. “Adakah
jagung rebus?” aku menatapmu selama beberapa detik. Aku hanya terlalu senang
mendengar jawabanmu. Biasanya kamu selalu mengatakan tidak lapar tapi hari itu
kamu menanyakan jagung rebus. Entah bagaimana itu bisa terjadi, hari itu kamu
menghabiskan tiga jagung rebus sekaligus. Aku yakin kamu bisa melewati masa
sulit ini.
***
Empat
hari kemudian kamu pergi. Aku tidak mau ditinggal sendiri, seharusnya aku
memaksa ikut. Kamu hanya tersenyum semampumu, aku tau tenagamu mulai habis.
Kamu sudah tidak sekuat dulu yang kuat berjalan berkilo meter denganku hanya
untuk melihat sungai. Aku mengingatnya, semuanya. Bagaimana mungkin aku
melupakan semua memori indah itu. Kamu adalah salah satu hal terbaik dalam
hidup. Kamu pergi, semakin jauh dan aku tetap diam disini. Semua ini memang
yang terbaik buatmu dan aku akan selalu mendoakanmu dari sini.
***
“Bagaimana
keadaannya?” aku selalu rajin menghubungimu sejak kamu pergi. “Entahlah. Aku
tidak bisa menjelaskannya. Dia selalu berusaha tampak sehat tapi sepertinya
pagi ini dia sangat bersemangat. Sekarang dia sedang menggosok giginya dan
mencuci muka. Meskipun sakit, dia tetap menjaga kebersihan.”
“Hm,
jangan menangis di depannya. Kamu adalah semangatnya. Tetaplah menjadi kuat,
sebentar lagi dia pasti bisa melewatinya. Lusa aku akan menyusulmu. Aku
benar-benar merindukannya.”
“Baiklah.
Akan aku tunggu. Selesaikan urusanmu dulu saja.”
“Oke,
nanti akan ku hubungi lagi. Titip salam rinduku untuknya.”
“Pasti.”
***
Aku
menyukai bulan Juni, karenamu. Aku tidak tau bagaimana itu terjadi, seharusnya
aku membencinya. Juni terlalu jahat. Dia memisahkan kita dengan jarak yang tak
terhingga, jarak yang tidak bisa aku tempuh dalam hitungan hari maupun tahun.
Langit yang kita tatap tidak lagi sama. Kamu juga jahat, meninggalkanku dengan
semua kenangan menyakitkan ini. Bahkan kamu tidak mengucapkan selamat tinggal.
Aku sudah mengatakan bahwa lusa akan menemuimu tapi kamu bahkan tidak mau
berjuang untukku. Jumat kemarin menjadi yang terakhir. Tidak ada lagi
jumat-jumat selanjutnya yang selalu aku luangkan untukmu. Dua jam setelah
percakapan itu, kamu sudah memutuskan pergi. Apakah semudah itu meninggalkanku?
Tidak adakah yang harus kamu ucapkan sebelum pergi? Apa kami semua terlihat
begitu kuat sampai kamu begitu mudahnya pergi? Hei, ini hanya pura-pura. Kamu
seharusnya tau kita semua berjuang buat kamu dan kamu malah pergi dengan wajah
sebahagia itu. Kamu senang sekarang meninggalkan kami dengan semua luka yang
tidak akan bisa sembuh?
Mungkin aku terlalu egois. Membiarkanmu menanggung semuanya sendiri. Aku tau kamu sudah sangat berjuang. Aku tau kamu melewati banyak masa sulit. Kamu merasakan semuanya sendiri, mungkin karena itu kamu memilih pergi. Sekarang sudah tidak sakit bukan? Berjanjilan kamu akan bahagia disana, tersenyumlah sebanyak yang kamu mau. Kamu tau kan aku kuat? Aku juga akan mencoba tersenyum selama kamu menepati janjimu. Aku menyukai bulan Juni, karena disana selalu ada kamu. Ah iya, aku akan menunggu di ujung jalan. Asala kamu tau, ini sudah yang kesepuluh dan kamu masih tidak menemuiku di ujung jalan. Kamu memang satu-satunya orang yang bisa membuatku menunggu selama ini. Sampai bertemu disana.